Jumat, 03 Januari 2014

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

KEKERASAN dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta dan relita dalam kehidupan rumah tangga. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) makapersoalan KDRT ini menjadi domain publik. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (baca: istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya. UU PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya, baik perlindungan sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak lainnya. Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena luasnya ruang dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan lembaga resmi yang menangani perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu adalah setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya tindak KDRT. Mereka diwajibkan mengupayakan pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu pengajuan permohonan penetapan perlindungan baik langsung maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang ada. Dilihat dari stelsel hukum pidana, tindak KDRT ini adalah tindak kekerasan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni tindak pidana penganiayaan, kesusilaan, serta penelantaran orang yang perlu diberi nafkah dan kehidupan. Lalu mengapa masih diperlukan UU PKDRT? Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini mempunyai sifat khas/spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi di dalam rumah tangga, korban dan pelakunya terikat hubungan kekerasan atau hubungan hukum tertentu lainnya, serta berpotensi dilakukan secara berulang (pengulangan) dengan penyebab (causa) yang lebih kompleks dari tindak kekerasan pada umumnya. Itu sebabnya, tindak kekerasan ini lebih merupakan persoalan sosial yang tidak hanya dilihat dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara komprehensif, melalui proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama, dengan melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi dan lembaga. Bagaimanakah bentuk dan cara perlindungan itu, serta bagaimanakah hubungan masing-masing institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu secara konkret dan faktual di lapangan? Itulah pokok persoalan yang perlu dibahas lebih lanjut. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana persoalan itu dipahami oleh masyarakat luas sehingga cita-cita yang hendak dicapai oleh legislator yang terkandung dalam UU PKDRT dapat terwujud sesuai harapan. Bentuk perlindungan Korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi perlindungan itu sendiri belum tentu memahami bagaimana perlindungan itu didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang status soseknya lebih tinggi atau institusi dan lembaga yang tugas dan fungsinya selaku penegak hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan perlindungan itu bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT. UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan fungsi pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat memberikan perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian sanksi kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT. Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing: 1. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan, sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban. Pemerintah dan masyarakat perlu segera membangun rumah aman (shelter) untuk menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya dapat melakukan penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup dan disertai dengan perintah penahanan terhadap pelaku KDRT. Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan setelah 1 X 24 jam. 2. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial (kerja sama dan kemitraan). 3. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban. 4. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti. 5. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait. 6. Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan danpemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban. 7. Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban. Bentuk perlindungan dan pelayanan ini masih besifat normatif, belum implementatif dan teknis oparasional yang mudah dipahami, mampu dijalankan dan diakses oleh korban KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan kembali pola dan strategi pelaksanaan perlindungan dan pelayanan dan mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat sulit dan mustahil dapat mencegah apalagi menghapus tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena berbagai faktor pemicu terjadinya KDRT di negeri ini amatlah subur. Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu sebab konvensional seperti disharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi yang rendah, perangai dan tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan ternyata tidaklah sepenuhnya benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh mereka yang kondisi sosial ekonominya baik, sukses karier dan pekerjaannya, bahkan berpendidikan tinggi. KDRT merupakan multi persoalan, termasuk persoalan sosial, ekonomi, budaya, hukum, agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus KDRT di muka bumi Indonesia adalah perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan yang rentan menjadi korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan dapat mempengaruhi struktur dan karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat memberi rasa aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi keluarga dan bangsa Indonesia.***

Label:

Kisah Seorang Yatim

Ini kisah seorang yatim, sebut saja namanya Firman, 20 tahun, kakak dari empat adik itu sudah hampir seminggu selalu terlambat datang ke masjid untuk sholat shubuh berjama’ah, namun meski terburu-buru ia masih menyempatkan diri walau hanya menjadi masbuk atau bahkan setelah jama’ah lainnya sudah mengucapkan salam. Tak apalah, katanya, yang penting ia dan adik-adiknya tak absen ke masjid untuk berjama’ah. Sebelumnya ia tak pernah begitu, wajar karena empat hari yang lalu, dini hari sekitar pukul 03.00 ayahnya yang tukang angkut sampah di sebuah perumahan, meninggal dunia. Makanya, kalau dulu ada yang membantunya membangunkan adik-adiknya untuk bersiap-siap shubuh di masjid, kini ia harus melakukannya sendiri. Pasalnya, sepuluh tahun lalu, ibunya telah terlebih dulu meninggalkan mereka saat melahirkan si kecil, Salma. Firman dan semua adiknya, memang bersedih ketika ayah mereka meninggalkan mereka saat tengah terlelap. Tak dinyana, perjumpaan sesaat sebelum tidur semalam adalah terakhir kali mereka bercanda dengan ayah mereka. Namun Firman tetap tegar, sebagai kakak tertua dari empat adiknya, ia merasa harus menunjukkan bahwa bagaimanapun kesedihan melanda, mereka tak boleh larut. Tetap tegak menatap hari esok, sambil berpikir bagaimana berjalan tanpa pegangan kokoh yang keduanya telah hilang sekarang, tanpa bimbingan orangtua, tanpa ada lagi tempat mengadu, apalagi minta uang saku sekolah bagi adik-adiknya. Pagi ini di depan gang sambil menunggu kendaraan, kami bertemu Firman. Ia sudah kembali bekerja –menjadi pesuruh di sebuah lembaga tinggi negara-. Ia tersenyum melihat kami, padahal masih ada kegetiran didada ini merenungi nasib Firman dan adik-adiknya. Namun pagi itu Firman memberi pelajaran terbaik buat kami ketika ia mengatakan, “Allah menyayangi anak-anak yatim, kalau dulu sewaktu ibu meninggal, masih ada bapak yang menyayangi. Saya yakin selama ini Allah sudah menyayangi kami. Tapi kini, keyakinan saya bertambah bahwa Allah semakin sayang kepada kami. Cara Dia mengambil bapak dari tengah-tengah kami, menumbuhkan keyakinan didiri kami kalau Allah ingin lebih total mencurahkan cinta dan kasih sayangnya, tinggal bagaimana kami tetap tawakal dan bersyukur atas segala kehendak-Nya, seraya bersegera membalas cinta-Nya”. Subhanallaah … kami tak menyangka Allah berikan kekuatan hati melebihi ketegaran batu karang di lautan, lebih kokoh dari gunung-gunung yang berdiri menjulang kepada seorang anak yatim piatu. Nampaknya, keyakinannya terbukti, bahwa kasih sayang Allah tengah tercurah kepada mereka, Firman dan semua adiknya. Saat itu juga kami menengok ke dalam hati ini yang begitu kerdil, cengeng, sering tidak kuat ketika menerima cobaan hidup, dan terkadang memaki-maki Allah menganggap Ia tak adil memberikan keputusan-Nya kepada kami. Padahal, kami disamping masih ada dua orangtua yang sehat dan bugar, keadaan ekonomi keluarga kami pun masih lebih baik dari Firman. Nampaknya falsafah air semakin ditekan kebawah semakin besar dorongannya keatas, menjadi pelajaran tersendiri buat kami. Firman, juga semua anak-anak yatim di negeri ini jauh lebih tegar, hati mereka sekokoh gunung, justru karena setiap hari mereka ditempa cobaan yang tak henti-hentinya, sehingga mereka menjadi terbiasa menghadapi semua cobaan, ujian hidup seberat apapun. Jika anak-anak yatim itu melihat kecengenganku ketika tertimpa cobaan kecil saja misalnya, mungkin mereka akan tertawa terbahak-bahak dan menganggap kami seorang yang tidak bakal mampu bersaing melawan kerasnya kehidupan. Padahal dengan semua kelebihan yang kami miliki, seharusnya kami jauh lebih kuat dari mereka, jauh lebih tegar menghadapi cobaan hidup. Toh kami masih punya tempat berpegang ketika merasa tak kuat, atau setidaknya kedua orangtua kami akan memapah kami seraya membangunkan kami ketika kami jatuh. Lagi pula, seharusnya juga kami bisa menjadi kaki-kaki kokoh yang membantu Firman dan anak-anak yatim itu tegak berdiri. Dengan kelebihan yang kupunya, seharusnya kami berikan sebagiannya kepada mereka, agar senyum keceriaan menikmati hidup tak hanya milik orang-orang berpunya. Lalu apa artinya sholatku selama ini jika keberadaanku tak berarti apapun bagi anak-anak yatim dan orang miskin di sekitarku. Padahal Allah menempatkan urutan diatas sebelum memperbaiki sholat seorang mukmin adalah memperhatikan anak-anak yatim dan orang miskin (QS. Al Maa’uun). Tentu bukan hanya Firman dan Salma anak yatim di negeri ini, tengoklah kesamping kanan dan kiri kita, masih banyak anak-anak yang tak dapat menikmati sarapan pagi, sementara kita santai menghabiskan uang untuk makan di tempat mahal. Tidak sedikit dari mereka yang tak memiliki pakaian layak, sementara kita sibuk setiap hari membeli model terbaru untuk penampilan kita. Kita merasa puas dan senang jika bisa mengajak beberapa teman untuk makan bersama, tapi tak pernah bergetar menyaksikan mulut-mulut ternganga yang memperhatikan kita dibalik kaca restoran. Padahal sesungguhnya saat itu juga, kita tengah mengesampingkan kunci surga yang tergeletak dihadapan kita. Tak semestinya, kita membiarkan kunci surga itu terbuang begitu saja atau diambil orang-orang selain kita yang memang berlomba mendapatkannya. Hmmm, kami tak bisa membayangkan bagaimana sedihnya Firman, Salma dan seluruh anak-anak yatim di negeri ini di bulan ramadhan ini. Karena bukankah salah satu kebahagiaan ramadhan adalah sahur dan berbuka bersama dengan seluruh keluarga. Mungkinkah masih ada keceriaan di hari raya nanti bagi mereka, saat tak ada lagi pakaian baru dan makanan enak di rumah mereka, ketika tak ada lagi tangan-tangan hangat yang harus mereka kecup di hari fitri itu. Jawabnya ada pada diri kita, yang Allah titipkan rezeki mereka pada sebagian dari harta yang kita miliki. Kalaulah si Anak Yatim Baginda Rasulullah begitu memuliakan anak-anak yatim, kenapa kita yang mengaku sebagai pengikutnya tidak meniru? Wallahu’a’lam bishshowaab..

Label: